Ari Sunariyati mendampingi ratusan buruh perempuan di Jakarta untuk mengembangkan ketrampilan kepemimpinan. Dia berencana untuk mendidik lebih banyak pekerja di seluruh Indonesia tentang hak-hak mereka, bertujuan untuk menumbuhkan serikat pekerja sejati yang dipimpin, dikelola, dan ditangani oleh pekerja yang dapat mewakili kebutuhan dan kepentingan para pekerja.
Ari lahir di sebuah kota kecil di Jawa Timur pada tahun 1952 dari keluarga kelas menengah. Ayahnya bekerja sebagai rimbawan di perusahaan kehutanan milik negara, Perhutani, sedangkan ibunya bekerja sebagai guru sekolah dasar. Ari adalah anak pertama dari empat bersaudara. Kepeduliannya dalam membela hak-hak orang yang kurang beruntung dimulai sejak dini. Sebagai murid sekolah dasar, ia sering “mencuri” pensil dari ayahnya untuk teman-temannya yang merupakan anak petani miskin dan tidak memiliki pensil warna. Kecenderungannya untuk "memperbaiki kesalahan" juga muncul di sekolah dasar ketika dia terpilih untuk mengelola koperasi sekolah. Dia menemukan bahwa sekolah menagih siswa hampir dua kali lipat dari yang dibayarkan untuk persediaan mereka. Setelah diskusi yang menarik dengan guru itu, dia menurunkan harga. Di sekolah menengah pertama, Ari membela seorang teman yang tidak diberikan haknya untuk menjadi anggota tim voli sekolah karena tidak punya uang untuk transportasi ke pertandingan tandang. Ari berhasil meyakinkan para guru dan kepala sekolah bahwa temannya harus diikutsertakan dalam tim. Dengan gelar sarjana administrasi bisnis, Ari mulai bekerja pada tahun 1974 sebagai asisten manajer di departemen personalia sebuah perusahaan tekstil. Di sini dia menyadari pelanggaran ketenagakerjaan dan mulai menasihati para pekerja. Ketika dia dihadapkan pada atasannya, dia secara bertahap berhasil meyakinkannya bahwa perusahaan harus memperlakukan para buruh secara berbeda. Hubungan dekatnya dengan para pekerja memenangkan pemilihannya secara aklamasi dari para buruh pada tahun 1979 untuk menjadi pemimpin serikat buruh pabrik. Tahun itu ia juga terpilih menjadi anggota Federasi Pekerja Indonesia dan mengusulkan agar federasi tersebut memiliki jurusan di bidang pendidikan dan pelatihan. Saran itu ditolak. Maka Ari mulai mengatur pelatihannya sendiri, diam-diam, setiap hari Sabtu dan Minggu, bergerak mencari tempat yang sesuai dan menghindari perasaan dimata-matai. Pada tahun 1983, Ari mengundurkan diri dari perusahaan untuk mengejar visinya menciptakan generasi baru pemimpin perempuan dan pekerja Indonesia.
Buruh perempuan merupakan kelompok paling rentan dalam angkatan kerja industri. Tidak hanya mereka dibayar dengan upah lebih rendah daripada laki-laki, tetapi mereka juga memiliki hak yang lebih sedikit. Mereka tidak menerima upah selama cuti melahirkan atau ketika mereka harus berada di rumah karena salah satu anggota keluarga sedang sakit. Meskipun ada pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang konsisten, tenaga kerja perempuan tetap diam. Ari menilai, penyebab dari situasi ini adalah ketidaktahuan buruh terhadap hak-hak mereka dan bagaimana mereka dilindungi undang-undang ketenagakerjaan. Faktor lainnya, menurut dia, adalah minimnya serikat pekerja yang dipimpin, dikelola, dan ditangani oleh pekerja - serikat pekerja yang dapat menyuarakan kebutuhan dan kepentingan pekerja. Ari sedang mengembangkan program pendidikan untuk menginformasikan para pekerja tentang hak-hak mereka dan tentang strategi yang akan diambil ketika menangani perselisihan pekerjaan; secara bersamaan, dia meningkatkan kesadaran mereka tentang peran penting mereka dalam industri dan mempersiapkan mereka menjadi pemimpin buruh sejati. Untuk melakukannya secara efektif, dia dan teman-temannya mendirikan Ponkok Wanita Pekerja. Mereka berfungsi sebagai pusat pendidikan, informasi, dan pelatihan. Tempat penampungan juga menawarkan kursus praktis dalam keterampilan baru seperti menjahit dan memasak. Saat ini terdapat dua halte di Jakarta Selatan dan Utara, yang akan diikuti oleh dua lainnya di Sukabumi dan Surabaya. Impian Ari, suatu saat nanti Indonesia akan ada serikat pekerja yang dipimpin, diorganisir dan dikelola oleh buruh, sehingga menjadi organisasi yang benar-benar menyuarakan kepentingan dan kebutuhan buruh.
Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk memasuki "era industri". Kebijakan ini memiliki banyak implikasi bagi dunia kerja. Menjadi negara industri juga berarti membuka pintunya lebih luas bagi investor asing. Salah satu daya tarik investor asing untuk menanamkan modalnya di negara berkembang adalah tenaga kerja murah di negara berkembang. Delapan puluh persen angkatan kerja Indonesia tidak lebih dari pendidikan sekolah dasar, dan mereka pada dasarnya tidak terbiasa dengan undang-undang ketenagakerjaan. Selain itu, banyak buruh yang merasa resah dengan kata “serikat buruh” karena pengalaman di tahun 1960-an ketika Partai Komunis menggunakannya untuk menyuarakan kepentingannya. Alasan ini, dipadukan dengan budaya yang berupaya meminimalkan konflik, menjelaskan mengapa pekerja sangat rentan terhadap eksploitasi. (Penyelesaian perselisihan kerja saat ini berdasarkan peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan yang menurut Ari melanggar undang-undang ketenagakerjaan.) Ada program pendidikan hukum di Indonesia, bahkan di televisi nasional. Tapi ini fokus pada mengajar orang aturan yang harus mereka patuhi. Pekerjaan Ari berbeda. Dia mempersiapkan orang untuk mengendalikan hidup mereka sendiri dan untuk mengetahui bagaimana menggunakan hukum sebagai perisai untuk melindungi mereka.
Ari berupaya mengembangkan generasi baru pemimpin pekerja, terutama di kalangan perempuan. Salah satu alat utamanya adalah pendekatan dialogis dan partisipatif untuk pelatihan tentang masalah ketenagakerjaan yang dibangun selama 12 tahun pengalamannya dalam pelatihan ketenagakerjaan. Dia menyalurkan pekerjaannya melalui Shelters for Woman Laborers. Dua tempat penampungan di Jakarta sudah memiliki lebih dari 600 anggota, banyak di antaranya diharapkan Ari akan menjadi pemimpin dalam waktu dekat. Tempat-tempat penampungan yang sudah dikelola mantan buruh Ari ditemukan dan dilatih melalui serangkaian kelompok diskusi buruh perempuan yang ia jalankan sejak 1982. Selain kelas menjahit dan memasak, tempat penampungan juga menawarkan layanan kesehatan dan sistem tabungan yang mendorong pengelolaan uang yang lebih baik. Tempat penampungan juga memiliki perpustakaan, yang mengejutkan programnya, telah menarik anak-anak ke tempat penampungan. Situasi ini dimanfaatkan Ari dengan membentuk kelompok bermain dan menyelenggarakan program gizi dan pengayaan anak. Ari berencana menjadikan shelter tersebut model nasional. Ia ingin membangun hunian baru di tempat-tempat yang banyak pekerja perempuannya, seperti Bali, Sumatera Selatan (Palembang dan Lampung), dan Kalimantan Timur.